Paradigma Baru MANAJEMEN RITEL MODERN

Penulis mempersembahkan buku ini ke khalayak pembaca sekalian sebagai sebuah bentuk persembahan kecil untuk memperkaya wacana seputar dunia retail, khususnya dalam Konsep Retail Merchandising. Seperti karya tulis pertama (Retail Negotiator Guidance) dari penulis, buku inipun merangkum pengalaman praktis penulis selama berkarir sebagai praktisi di bidang retail dan mengemasnya secara sistematis dalam suatu kerangka wacana secara umum.
Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Graha Ilmu - Yogyakarta ini dimaksudkan sebagai bahan rujukan dan wacana pembanding bagi para manager maupun business owner di bidang retail dan juga rekan-rekan dari kalangan supplier. Sebagai bahan bacaan atau kajian dipersilahkan juga bagi para pembaca umum untuk menambah khasanah pengetahuan seputar dunia retail.

Kamis, 03 Februari 2011

Modern Retail Merchandising, paradigma baru?

Konteks modern retail merchandising mencakup 2 substansi yang sangat penting yang berkembang saat ini, yaitu pendekatan Manajemen Kategori (Category Management) dan Manajemen Rantai Pasokan (Supply Chain Management). Dalam konteks ini, manajemen kategori dapat dipahami sebagai suatu pendekatan cara penanganan barang pada tingkat kategori melalui klasifikasi yang terstruktur dan sistematis pada assortment / bauran produk. Sementara itu, paradigma baru dalam manajemen rantai pasokan barang menempatkan retailer dalam suatu titik / mata rantai dalam jalur distribusi / pasokan barang yang bersama-sama dengan pihak supplier menjadi bagian dari proses menyeluruh arus penyediaan barang dari hulu ke hilir. Paradigma baru ini menuntut adanya kesamaan persepsi antara supplier dengan retailer dalam memandang pemenuhan kebutuhan dan kepuasan konsumen sebagai tujuan akhir proses.

Harus dipahami bahwa pada dasarnya manajemen kategori barang adalah implementasi manajemen strategis pada tataran kategori barang. Dengan demikian implementasinya menyangkut keseluruhan aspek bisnis retail yang mencakup aspek Assets, Finance, Human Resources serta Merchandise. Implementasi manajemen kategori ini menuntut adanya perubahan mendasar dalam cara penanganan keempat aspek tersebut. Keberhasilan implementasinya sangat ditentukan dan atau dicirikan oleh faktor strukturisasi kategori barang, strukturisasi organisasi, dan tingkat implementasi sistem informasi (komputer) merchandising. Ketiga faktor penentu tersebut merupakan elemen-elemen yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Struktur kategori barang merupakan susunan kerangka hirarkis pengelompokkan barang. Dalam strukturisasi kategori barang terkandung 2 fungsi penting, yaitu fungsi klasifikasi dan fungsi identifikasi. Klasifikasi kategori barang adalah proses penempatan keseluruhan item-item barang dalam suatu kerangka yang membangun assortment dengan memilah-milahnya berdasarkan kelompok kegunaannya dari sisi konsumen kemudian menyusun kategori tersebut dalam suatu struktur hirarkis. Identifikasi item barang merupakan proses pengaturan dari sekumpulan data dari suatu item dalam assortment yang membedakan item tersebut dengan item lainnya.

Implementasi manajemen kategori barang menuntut adanya penyesuaian dalam struktur dan pola kerja organisasi bisnis retail. Pendekatan pembagian tugas secara fungsional-struktural bergeser menjadi kategoris-fungsional. Pengelolaan bisnis dipusatkan pada tingkat kategori sebagai strategic business unit, suatu profit center.

Proses-proses pengambilan keputusan strategis dan operasional bisnis retail kini sangat tergantung pada tingkat implementasi sistem informasi komputer. Sistem informasi jaringan memungkinkan diperolehnya real-time data, proyeksi dan estimasi kebutuhan yang optimal dan berbagai standard analysis reports. Keputusan-keputusan strategis dan rencana aksi dapat dilakukan secara lebih cepat dan tepat sasaran, sehingga menjamin efisiensi proses bisnis.

Dalam paradigma lama supplier dan retailer cenderung memandang proses distribusi barang dari supplier kepada retailer (retail supply chain) dalam sudut pandang yang berbeda secara diametral. Modern Retail Supply Chain menempatkan retailer sebagai suatu titik atau mata rantai dalam distribution line. Konsep ini menjembatani kepentingan supplier dan retailer dalam sudut pandang yang sama, yaitu sebagai bagian dari proses menyeluruh arus barang dari hulu ke hilir sampai kepada konsumen akhir. Orientasi proses menyeluruh ini adalah pemenuhan kebutuhan dan kepuasan konsumen (consumer driven). Arus informasi consumer demand bergerak dari hilir ke hulu sebagai feedback atas pergerakan arus barang. Informasi sales turn-over dan historical sales dari check out counter (cashier lines retailer) menjadi dasar perhitungan bagi proses produksi, dan distribution quotation dalam arus supply barang, yang dimungkinkan dengan adanya kerjasama aktif dan sistem informasi yang memadai dan menghubungkan setiap titik dalam proses. Dengan paradigma baru, orientasi supplier adalah pada retailer’s selling out. Supplier akan berkecenderungan untuk mentargetkan selling in sebanyak-banyaknya dengan kerjasama yang proaktif dan target yang didasarkan atas informasi selling out dan hasil analisisnya yang diberikan retailer sebagai bagian dari kerjasama.

Hal terpenting dari konsep modern retail supply chain adalah collaborative planning and action, dan adanya kesamaan persepsi atas kepentingan masing-masing di antara supplier dengan retailer. Kerjasama perencanaan dan aksi termaksud adalah kerjasama proaktif dan inovatif dalam bentuk aktifitas nyata yang ditujukan untuk mendapatkan peningkatan sales volume dan margin. Bentuk kerjasama ini bisa berupa promotion event, logistic co-operation (warehousing/cross docking), first pricing, dan atau private labeling.
Upaya-upaya nyata yang dapat dilakukan retailer untuk implementasi manajemen kategori dan paradigma baru dalam manajemen rantai pasokan antara lain mix-margin, standard implantation / space management dan private labeling. Mix-margin adalah suatu cara penetapan harga secara berbeda untuk setiap kategori dan atau setiap item tertentu dalam kategori dengan tujuan untuk memberikan kesan tingkat harga yang bersaing.
Sedangkan category implantation dapat didefinisikan sebagai suatu cara penataan barang di rak-rak pajangan (shelving) di toko dengan pendekatan category management. Susunan pengelompokan pemajangan barang per aisley maupun per shelving disesuaikan dengan struktur kategori barang. Pengembangan lebih lanjut dari category implantation adalah space management dengan memberikan pengaturan proporsional penempatan barang di shelving display.

Kemudian, dengan adanya private label dan specific items, maka merchandise dalam retailer assortment akan terdiri dari tiga jenis, yaitu; brand items, private label dan specific item. Brand items adalah item dengan merek dagang yang biasa kita jumpai di pasaran dan didistribusikan dalam jalur distribusi yang umum, yaitu mulai dari manufacture atau importer, kemudian ke distributor, lalu wholesaler, dan akhirnya retailer. Sedangkan private items dan specific items merupakan item barang yang hanya dapat dijumpai pada retailer tertentu dan atau pada tingkat pasar tertentu. Keberadaan private items dan specific items merupakan prakarsa dari retailer sebagai bagian dari strategi category management-nya. Private items dan specific items diproduksi atas dasar suatu kontrak kerjasama antara retailer dengan producer item yang bersangkutan.

Private label atau home brand item adalah item-item barang yang dijual dengan menggunakan merek yang sama dengan nama retailer atau turunannya atau suatu nama merek yang secara independen dibuat oleh retailer, namun masih menunjukkan kaitannya dengan retailer yang bersangkutan. Sedangkan suatu specific item atau disebut juga first price atau lowest price item pada dasarnya adalah merupakan brand item, yang berdasarkan kesepakatan tertentu dengan producer-nya dijadikan sebagai specific item bagi retailer tersebut. Kesepakatan khusus ini meliputi (1) pembatasan eksistensi brand item tersebut di pasar yang in-line dengan positioning retailer, (2) adanya purchase quotation bagi retailer dan jaminan ketersediaan barang oleh producer, dan (3) kondisi harga terbaik dengan mengabaikan marketing budget dan wholesaler’s margin.